Monday, June 8, 2015

Salah satu ciri khas sebuah kota ditandai dengan bentuk bangunan maupun monumen yang dimilikinya. Sehingga mendiang Presiden Soekarno secara khusus membangun Monumen Nasional di Jakarta dan Tugu Pahlawan Surabaya. Meskipun terkesan pembangunan itu sebagai proyek mercusuar atau menara gading belaka, namun keberadaan kedua monumen itu semakin menguatkan identitas kota-kota tersebut. Lalu bagaimana dengan Jombang sebagai salah satu kota kelahiran multi tokoh maupun bertemunya dua aliran kebudayaan;Mataraman (Pracima) dan Arek (Purwa)?
Ternyata Jombang juga memiliki kebanggaan ikon tetenger atau ciri khas kotanya, yaitu Ringin Conthong. Kebanggaan ini menjadi pemicu dan pemacu elemen masyarakat Jombang, baik yang berada di tingkatan lokal maupun warga Jombang yang sudah berdomisili di kota lain. Seperti misalnya komunitas teater Ringin Conthong STKIP PGRI Jombang yang mengembari ludruk mahasiswa ITS Tjap Toegoe Pahlawan. Sedangkan komunitas warga Jombang di Jakarta dan sekitarnya sengaja memasang bentuk menara air Ringin Conthong dalam logo organisasi yang bertajuk Pagerijo, singkatan dari Paguyuban Arek Jombang.
Mengapa Ringin Conthong dipandang sebagian warga masyarakat Jombang begitu penting sebagai ikon kota berjuluk kota santri ini? Ada baiknya kita telusur arti penting Ringin Conthong dari berbagai sudut pandang.
Pertama dari kajian etnografi atau yang bersumber dari cerita rakyat sebagai kekayaan folklor/ tradisi kolektif masyarakat Jombang, yaitu cerita Kebokicak Karang Kejambon. Alkisah ketika terjadi pengejaran Kebokicak terhadap Surantanu dan Banteng Tracak Kencana yang akan digunakan sebagai tumbal terkait munculnya pageblug/ wabah penyakit yang sulit disembuhkan di daerah padepokan Pancuran Cukir, Kebokicak berteduh di bawah pohon raksasa. Setelah melihat langsung pohon raksasa itu akhirnya tempat persinggahan tersebut dinamakan Ringin Conthong.
Kedua ditanamnya pohon beringin oleh bupati Jombang pertama Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V atau lebih akrab disebut Kanjeng Sepuh pada tanggal 22 Pebruari 1910, bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan pendapa kabupaten Jombang. Pada tanggal tersebut Kanjeng Sepuh sekaligus menanam dua pohon beringin sebagai simbol pengayoman. Satu pohon beringin kunthing ditanam di depan pendapa, sedangkan satunya ditanam tepat di lokasi Ringin Conthong sekarang.
Ketiga ditetapkannya Ringin Conthong sebagai titik nol jarak antar wilayah di kabupaten Jombang maupun antar kota dengan pusat kota santri ini. Keputusan ini barangkali sejalan dengan penetapan batas-batas kota Jombang oleh pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu berkedudukan sebagai ibukota Afdeeling Jombang yang terletak di Karesidenan Surabaya. Penetapan ini tepatnya terjadi pada 20 September 1877 yang dimuat dalam lembaran negara no. 172 (Staatblad van Nederlandsch-Indie Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 20 September 1887 no.2/c).
Keempat dibangunnya menara air pada tahun 1929 oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun bangunan ini bukan ringin conthong yang dimaksud, tetapi sebagian besar warga Jombang menganggab menara air tersebut bagian tak terpisahkan dari situs Ringin Conthong.
Posisi Ringin Conthong di Titik Nol memang memiliki arti yang sangat berharga sebagai epicentrum kota Jombang. Karena nol identik dengan kosong, sedangkan dalam kekosongan ada kesadaran akan Yang Maha Satu. Artinya di titik nol itulah sebenarnya sumber kekuatan sebagaimana roda berjeruji yang titik tumpunya pada titik sumbu/ as yang berada di tengah roda. Ringin Conthong kita analogikan sebagai sumbu sebuah roda wilayah bernama Kabupaten Jombang.
Sebagai bahan pembanding adalah Tugu Khatulistiwa di kota Pontianak yang merupakan penanda garis equator di permukaan bumi, tempat dimana matahari berada pada satu garis lurus di atas bumi, sehingga tidak ada bayangan yang muncul akibat sinar matahari yang menerpa benda-benda. Tugu Khatulistiwa sama-sama berada pada titik nol, cuma yang membedakan adalah kedudukan dan fungsi masing-masing. Ringin Conthong dalam skala mikro sebagai titik awal yang menghubungkan jarak antar wilayah. Sedangkan Tugu Khatulistiwa adalah titik nol sebuah makrokosmos bernama bumi yang kita pijak.
Terlepas dari interpretasi masing-masing orang maupun elemen masyarakat di kabupaten Jombang terkait arti penting sebuah lokasi dan cagar budaya bernama Ringin Conthong, alangkah indahnya jika warga masyarakat khususnya di kota santri ini turut uri-uri atau melestarikan ikon kota Jombang. Sehingga Jombang pantas disandingkan dengan kota-kota dengan identitas khas yang dimiliki. Biarlah Jakarta punya Monas, Surabaya memiliki Tugu Pahlawan, Pontianak tempat Tugu Khatulistiwa, dan Jombang bangga dengan Ringin Conthongnya.

Penulis : Dian Sukarno, adalah penggiat budaya dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, Sengon, Jombang. 
SEKILAS TENTANG CAK BESUT 

Siapa yang kenal nama Cak Besut? Anak-anak muda Jombang jaman sekarang hampir sudah lupa, atau bahkan tidak kenal Cak Besut. Saya pun awalnya hanya bisa mengira-ngira bagaimana bentuk penampilan Besut dari Jombang. Sejak kecil saya sudah akrab dengan gending jula-juli Jowo karena Bapak di rumah doyan sekali muter lagu-lagu Jawa Timuran. Tapi untuk paham bagaimana bentuknya, nah itu yang masih membuat saya penasaran.
Rasa penasaran itu terjawab di acara Festival Dolanan Anak Jombang pekan lalu. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Yatim Mandiri di Alun-alun Jombang itu menampilkan beragam seni budaya asli Jombangan. Ada permainan gedrik, egrang, karetan, dan lain-lain. Juga ada Tari Remo Jombangan lho. Yang paling menarik tentu saja ikon Cak Besut. Ternyata Cak Besut berbaju putih, bertopi merah, dan berselendang merah.
Jika dalam drama ludruk, Cak Besut ini biasanya punya pasangan perempuan yang namanya Rukmini. Besut dan Rukmini menjalin percintaan yang tidak mudah karena ada pihak ketiga yang menghalangi keutuhan cinta mereka berdua. Cerita hidup dan drama percintaan Cak Besut saya ulas kapan-kapan saja ya. Sekarang saya fokus ke fisiknya dulu. Cak Besut menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, baik di era kolonialisme Belanda maupun pendudukan Jepang.
Saya mengapresiasi acara Festival Dolanan Anak Jombang ini karena mampu menampilkan ikon Cak Besut ke khalayak ramai. Dengan demikian, masyarakat Jombang jadi kenal dan tahu sosok Besut, terutama kelompok remaja. Jangan sampai mereka lebih kenal artis luar negeri daripada tokoh masyarakat Jombang asli. Ayo rek, kenali ikon Jombang tercinta!
Besutan adalah kesenian tradisional asli Kabupaten Jombang yang merupakan pengembangan dari Kesenian Lerok dan merupakan cikal bakal Kesenian Ludruk. Kesenian Lerok merupakan kesenian yang bersifat amen. Pelakunya berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain untuk menyuguhkan pertunjukan teater sederhana. Pelakunya semula tunggal yang melakukan monolog dan dalam perkembangannya pelakunya lebih dari satu orang. Lakon yang dibawakan merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari. Dari bermacam-macam lakon yang disuguhkan, ternyata yang menggunakan tokoh Besut paling digemari penonton. Lama kelamaan, karena lebih sering melakonkan Besut, maka keseniannya kemudian disebut Besutan.
Kata besutan berasal dari kata besut. Besut itu sendiri merupakan akronim dari kata beto maksud (membawa pesan). Ada juga yang mengatakan besut berasal dari katabesot (menari). Besut merupakan nama tokoh utama dalam teater Besutan. Tokoh Besut merupakan sosok laki-laki yang cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni.
http://agussiswoyo.net/wp-content/uploads/2015/03/Cak-Besut-Ikon-Kota-Jombang-sedang-bermain-dengan-anak-anak.jpgDalam lakon Besutan, tokoh yang selalu hadir antara lain: Besut, Rusmini, Man Gondo, Sumo Gambar, dan Pembawa Obor. Tokoh lain bisa dimunculkan sesuai kebutuhan cerita. Besut yang gagah dan Rusmini yang cantik selalu menjadi sepasang kekasih atau sepasang suami istri. Sumo Gambar selalu berperan antagonis, sebenarnya sangat mencintai Rusmini, namun selalu bertepuk sebelah tangan. Man Gondo yang merupakan paman Rusmini, selalu berpihak pada Sumo Gambar, karena kekayaannya. Dengan tema apa pun lakon atau ceritanya, bumbu cinta segitiga antara Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi penyedapnya.
Busana Besut sangat sederhana. Tubuhnya dibalut kain putih yang melambangkan bersih jiwa dan raganya. Tali lawe melilit di perutnya melambangkan kesatuan yang kuat. Tutup kepalanya merah melambangkan keberanian yang tinggi. Busana Rusmini merupakan busana tradisional Jombang, menggunakan kain jarik, kebaya, dan kerudung lepas. Man Gondo berbusana Jawa Timuran, sedang Sumo Gambar berbusana ala pria Madura.
Ritual Besutan
Dalam pertunjukan Teater Rakyat Besutan, selalu diawali dengan semacam ritual yang berfungsi sebagai intro. Ritual ini menggambarkan bahwa Besut melambangkan masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan menurut apa kata penguasa (baca: penjajah).
Dalam ritual, selalu dimulai dengan Pembawa Obor yang berjalan dengan penuh waspada, hati-hati, dan terus mengendalikan Besut yang selalu di belakangnya. Besut yang matanya terpejam (dilarang banyak tahu), mulutnya tersumbat susur (dilarang berpendapat), berjalan ngesot (merayap) mengikuti ke mana obor bergerak. Besut selalu sigap menanti setiap peluang. Pada satu kesempatan, Besut meloncat berdiri, tangannya merebut pegangan obor, dan dengan sekuat tenaga, susur yang ngendon di mulutnya disemprotkan ke nyala obor hingga padam. Mendadak matanya terbuka, mulutnya bebas, langsung menari dengan heroik.
Demikianlah, secara sederhana, gambaran teater rakyat yang bersama Besutan. Terus melestarikannya dan mengeksplorasinya merupakan tugas kaum seniman Jombang dan masyarakat Jombang secara keseluruhan.

Sunday, June 7, 2015

AIR TERJUN NGEBLENG


Secara administratif air terjun Ngebleng terletak di dusun Ndoesie/Tondowesi desa Pule kec. Jatikalen kab. Nganjuk. Lokasi air terjun yang memiliki 3 tingkatan ini terletak didalam hutan yg berjarak sekitar 2 kiloan dari perkampungan terakhir. Tingkat pertama/atas memiliki ketinggian sekitar 1 meter, tingkat kedua memiliki ketinggian sekitar 6 meter dan tingkat ketiga/bawah memiliki ketinggian sekitar 5 meter.

Rute dari Ploso - Plandaan-Jatikalen. Dari Jembatan Ploso ikuti terus jalan alternatif ke Jombang hingga sampai Plandaan. Sebelum Polsek Plandaan ada pertigaan belok kiri mengikuti petunjuk ke Kec.Plandaan, ikuti terus jalan ini lurus sampai masuk desa Klitih(sekitar 10 kilometeran). 

Lalu ikuti jalan poros desa Klitih hingga ketemu persimpangan belok kiri mengikuti petunjuk ke Balai Desa Klitih.



Lalu sampai di pertigaan balai desa Klitih belok kanan dan ketemu pertigaan Puskesmas belok kiri dan ikuti jalan poros desa sampai masuk ke dusun Ndoesie.

Add caption

Add caption
Add caption

Dari sini tanya warga arah ke air terjun Ngebleng karena akses jalan banyak percabangan dan masuk hutan.







Air terjun Ngebleng tingkat pertama/atas.

Add caption


Air terjun Ngebleng tingkat kedua.



Air terjun Ngebleng tingkat ketiga/bawah.






































MATUR SUWUN